Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 23 November 2012

Pentingnya Yajna Upavitam Bagi Brahmacari

I Ketut Sandika


Veda merekomendasikan tahapan kehidupan ideal yang disebut dengan catur asrama dharma. Keempat tahapan kehidupan ini merupakan lapangan kehidupan yang hendaknya seseorang lalui, mulai dari tahapan awal yang disebut dengan brahmacari (masa menuntut ilmu), grehasta (masa berumah tangga), vanaprastha (masa dimana sedikit demi sedikit melepaskan kehidupan duniawi), dan masa sanyasin (masa sudah secara totalitas melepaskan diri dari ikatan duniawi).

Di antara keempat tahapan kehidupan tersebut, kiranya penting untuk dipahami bahwa tahapan brahmacari merupakan tahapan yang paling menentukan untuk seseorang dapat melewati tahapan kehidupan berikutnya. Mengapa demikian? Karena masa brahmacari ini adalah masa pembekalan diri dan masa pengisian diri untuk seseorang dapat menjalani tahapan selanjutnya. Brahmacari secara konseptual dapat dimaknai sebagai masa dimana seseorang hendaknya menuntut ilmu pengetahuan, baik itu pengetahuan yang bersifat sains maupun spiritual. Pengetahuan inilah yang pada nantinya akan dijadikan pijakan untuk memasuki tahapan berikutnya. Pada masa ini pula seseorang hendaknya membentuk karakter dirinya untuk menjadi mulia, sebab pada saat tua nanti sangat susah membentuk karakter karena beban kehidupan yang banyak dan ketajaman intelek sudah mengalami ketumpulan.

Demikian pentingnya masa ini, sehingga dengan demikian pergunakanlah masa brahmacari ini sebaik-baiknya. Dan senada dengan itu Sarasamuccaya 27 menekankan bahwa “Hendaklah digunakan sebaik-baiknya masa muda, selagi badan sedang kuatnya hendaklah dipergunakan untuk usaha menuntut dharma, artha dan ilmu pengetahuan, sebab tidak sama kekuatan orang tua dengan kekuatan anak muda; contohnya ialah seperti ilalang yang telah tua itu menjadi rebah, dan ujungnya itu tidak tajam lagi”.

Sebelum seseorang memasuki masa brahmacari ada beberapa hal yang hendaknya dilakukan. Menurut karma kanda Veda seseorang yang akan memasuki bramacari hendaknya terlebih dahulu melewati ritual Upanayana Samskara (Upacara Kelahiran Spriritual). Secara harfiah Upanayana dapat diterminologikan bagaimana seorang anak mendekatkan diri kepada guru, karena upanayana secara etimologi kata berasal dari kata “Upa” berarti dekat dan “nayan” berarti membawanya. Demikian juga dapat dimaknai upanayana, yakni duduk dekat kaki guru, agar mendapat berkah pandangan kebijaksanaan. Dalam upanayana inilah kewajiban guru memberikan benang suci yang disebut dengan Yajna Upavitam/Yajnopavitam dan mentasbihkan dengan memberikan Gayatri Mantram sebagai tanda si murid menjadi seorang dwija (kelahiran kedua).

Benang suci atau Yajnopavita, terdiri atas 3 utas benang yang berwarna putih, merah, dan hitam yang dijalin bersama-sama. Sesungguhnya mengacu pada pendidikan Veda tidak sembarangan murid berhak menerima benang suci. Benang suci ini hanya boleh diberikan kepada murid yang benar-benar memiliki kemauan kuat untuk berguru dan memiliki sikap guru bhakti serta kualifikasi lainnya.

Pemberian benang suci atau Yajnopavitam dari guru kepada murid bukanlah hanya sekedar simbolik semata, akan tetapi di balik semua itu terkandung nilai filsafat yang dalam. Pemberiaan benang suci tersebut menandakan, bahwa adanya ikatan antara guru dan murid. Ikatan yang dimaksud tidak saja ikatan secara fisik akan tetapi ikatan rohani yang selamanya tidak akan terlepas kendatipun pada akhirnya murid meninggalkan guru. Benang suci itu pula menandakan suatu makna yang dalam, bahwa guru dalam pandangan murid adalah orang tua yang harus dilayani, mematuhi perintah guru tanpa bantahan dan kesangsian. Seperti layaknya orang tua, guru hanya akan memberikan yang terbaik untuk muridnya. Dan selayaknya juga orang tua, seorang guru seharusnya menyayangi murid-muridnya seperti orang tua sayang pada anaknya. Selain itu, pemberian benang suci ini secara fundamental bertujuan agar supaya murid selalu diingatkan untuk menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan dengan baik agar tidak mengalami stagnasi rohani.

Tiga helai benang suci itu mengandung arti, bahwa murid terlahir ke dunia ini memiliki visi dan misi untuk melayani guru, para deva dan leluhur dengan penerapan disiplin bhakti. Untaian upavitam (benang suci) ini hendaknya murid taruh di bahu dan upavitam ini akan memberikan umur panjang dan cahaya rohani kepada murid, seperti dalam mantram Paraskara Grhasutra 2.2. 11 berikut: “Om,Yajnopavita yang sangat suci yang telah ada sejak zaman dahulu yang sama dengan Dewa Prajapati. Benang tersebut dapat memberikan umur panjang dan membawa ke masa depan. Letakkanlah di atas bahumu. Semoga Yajnopavita tersebut memberikan kekuatan dan cahaya. Wahai anak, kamu sebenarnya adalah Yajnopavita itu sendiri. Aku dekat denganmu melalui Yajnopavita tersebut.”

Pemberian benang suci ini berarti murid sudah siap menerima pengetahuan Veda maupun pengetahuan lainnya. Sistem pendidikan Veda menekankankan pentingnya pada masa bramacari untuk melakukan Upanayana yang di dalamnya terdapat ritual pemberian benang suci (Yajnopavita), sebab pendidikan Veda beranggapan, bahwa lebih dini seorang anak mempelajari Veda, maka lebih cepat mereka mengetahui tentang dharma atau kebenaran, untuk membentuk rohani mereka.

Yajnopavita bagi sang brahmacari adalah penting sebagai sebuah pemaknaan bahwa brahmacari hendaknya mampu mengikat kecendrungan indria-indria yang menyebabkan distraksi. Namun, sungguh disayangkan pendidikan Hindu sekarang tidak memperhatikan hal tersebut. Ironinya adalah Upanayana Samskara yang didalamnya ada prosesi Yajnopavita dianggap bentuk ritual keindia-indiaan. Sebenarnya prosesi tersebut mengandung makna yang dalam yang relevan diaplikasikan dalam pendidikan modern. Murid atau siswa sekarang memakai benang suci adalah kiranya tepat sebagai sebuah tanda, bahwa para murid sudah siap menerima pengetahuan dan sebagai tanda makna untuk selalu diingatkan bahwa ada nilai-nilai di balik mereka menggunakan itu. Daripada mereka menggunakan asesoris modern yang lebay. Zaman memang sudah berubah, tetapi hendaknya nilai-nilai dalam Yajnopavita tidak serta merta dilupakan begitu saja, terlebih hal tersebut tersurat dalam Veda. Apakah kita mau hal-hal tertentu yang mengandung nilai filsafati tinggi dalam Veda digunakan bahkan diklaim umat lain? Seperti penggunaan japa mala dan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar